SEJARAH PARIWISATA DI INDONESIA


Munculnya Pariwisata di Indonesia

    Dalam sejarah nusantara, diketahui bahwa kebiasaan mengadakan perjalanan telah dijumpai sejak lama. Dalam buku Nagara Kartagama, pada abad XIV, Raja Hayam Wuruk dilaporkan telah mengelilingi Majapahit dengan diikuti oleh para pejabat negara. Ia menjelajahi daerah Jawa Timur dengan mengendarai pedati. Pada awal abad XX, Susuhunan Pakubuwono X dikenal sebagai raja yang sangat suka mengadakan perjalanan. Hampir setiap tahun beliau mengadakan perjalanan ke Jawa Tengah sambil memberikan hadiah berupa uang. Dalam tradisi kerajaan Mataram, raja atau penguasa daerah harus melakukan unjuk kesetiaan pada keraton dua kali setiap tahunnya, sambil membawa para pejabat, pekerja yang mengangkut logistik dan barang persembahan untuk raja. Dari sinilah, pariwisata Indonesia terus berkembang sesuai dengan keadaan politik, sosial, dan budaya masyarakatnya. Kemajuan pesat pariwisata Indonesia sendiri tidak terlepas dari usaha yang dirintis sejak beberapa dekade yang lalu. Menurut Yoeti (1996:24), berdasarkan kurun waktu perkembangan, sejarah pariwisata Indonesia dapat dibagi menjadi tiga periode penting yaitu : periode masa penjajahan Belanda, masa pendudukan Jepang, dan setelah Indonesia merdeka. 

Masa Penjajahan Belanda

    Kegiatan kepariwisataan dimulai dengan penjelajahan yang dilakukan pejabat pemerintah, missionaris atau orang swasta yang akan membuka usaha perkebunan di Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata 5 daerah pedalaman. Para pejabat Belanda yang dikenai kewajiban untuk menulis laporan pada setiap akhir perjalanannya. Pada laporan itulah terdapat keterangan mengenai peninggalan purbakala, keindahan alam, seni budaya masyarakat nusantara. Pada awal abad ke-19, daerah Hindia Belanda mulai berkembang menjadi suatu daerah yang mempunyai daya tarik luar biasa bagi para pengadu nasib dari negara Belanda. Mereka berkelana ke nusantara, membuka lahan perkebunan dalam skala kecil. Perjalanan dari satu daerah ke daerah lain, dari nusantara ke negara Eropa menjadi hal yang lumrah, sehingga dibangunlah sarana dan prasarana yang menjadi penunjang kegiatan tersebut. 

    Kegiatan kepariwisataan masa penjajahan Belanda dimulai secara resmi sejak tahun 1910-1912 setelah keluarnya keputusan Gubernur jenderal atas pembentukan Vereeneging Toeristen Verkeer (VTV) yang merupakan suatu biro wisata atau tourist bureau pada masa itu. Saat itu kantor tersebut digunakan pula oleh maskapai penerbangan swasta Belanda KNILM (Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtfahrt Maatschapijj). yang memegang monopoli di kawasan Hindia Belanda saat itu.

    Meningkatnya perdagangan antar benua Eropa, Asia dan Indonesia pada khususnya, meningkatkan lalu lintas manusia yang melakukan perjalanan untuk berbagai kepentingan masing-masing. Untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik untuk mereka yang melakukan perjalanan ini, maka didirikan untuk pertama kali suatu cabang Travel Agent di Jalan Majapahit No. 2 Jakarta pada Tahun 1926 yang bernama Lissone Lindeman (LISLIND) yang berpusat di Belanda. Sekarang tempat tersebut digunakan oleh PT. NITOUR.

    Tahun 1928 Lislind berganti menjadi NITOUR (Nederlandsche IndischeTouristen Bureau) yang merupakan bagian dari KNILM. Saat itu kegiatan pariwisata lebih banyak didominasi oleh orang kulit putih saja, sedangkan bangsa pribumi sangat sedikit bahkan dapat dikatakan tidak ada. Perusahaan perjalanan wisata saat itu tidak berkembang karena NITOUR dan KNILM memegang monopoli. 

    Pertumbuhan hotel di Indonesia sesungguhnya mulai dikenal pada abad ke-19 ini, meskipun terbatas pada beberapa kota seperti di Batavia; Hotel Des Indes, Hotel der Nederlanden, Hotel Royal, dan Hotel Rijswijk. Di Surabaya berdiri pula Hotel Sarkies, Hotel Oranye, di Semarang didirikan Hotel Du pavillion, kemudian di Medan Hotel de Boer, dan Hotel Astoria, di Makassar Hotel Grand dan Hotel Staat. Fungsi hotel saat itu lebih banyak digunakan untuk tamu-tamu dari penumpang kapal laut dari Eropa. Mengingat belum adanya kendaraan bermotor untuk membawa tamu-tamu tersebut dari pelabuhan ke hotel dan sebaliknya, maka digunakan kereta kuda serupa cikar.

    Memasuki abad ke-20, mulailah perkembangan usaha akomodasi hotel ke kota lainnya seperti Palace Hotel di Malang, Stier Hotel di Solo, Hotel Van Hangel, Preanger dan Homann di Bandung, Grand Hotel di Yogyakarta, Hotel Salak di Bogor. Setelah kendaraan bermotor digunakan dan jalan raya sudah berkembang muncul pula hotel baru di kota lainnya seperti : Hotel Merdeka di Bukittinggi, Hotel Grand Hotel lembang di luar kota Bandung, kemudian berdiri pula di Dieng, Lumajang, Kopeng, Tawang Mangu, Prapat, Malino, Garut,Sukabumi, disusul oleh kota-kota lainnya.

Masa Pendudukan Jepang

    Berkobarnya Perang Dunia II yang disusul dengan pendudukan Jepang ke Indonesia menyebabkan keadaan pariwisata sangat terlantar. Saat itu dapat dikatakan sebagai masa kelabu bagi dunia kepariwisataan Indonesia. Semuanya porak poranda. Kesempatan dan keadaan yang tidak menentu serta keadaan ekonomi yang sangat sulit, kelangkaan pangan, papan, dan sandang tidak memungkinkan orang untuk berwisata. Kunjungan wisatawan mancanegara pada masa ini dapat dikatakan tidak ada. 

    Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, masa pendudukan Jepang tercatat sebagai masa yang pedih dan sulit. Ketakutan, kegelisahan merajalela, paceklik, perampasan harta oleh tentara Jepang membuat dunia kepariwisataan nusantara mati. Banyak sarana dan prasarana publik dijadikan sarana untuk menghalangi masuknya musuh dalam suatu wilayah, obyek wisata terbengkalai dan tidak terurus. Banyak hotel yang diambil alih oleh Jepang dan diubah fungsi untuk keperluan rumah sakit, asrama, dan hotel-hotel yang lebih bagus disita untuk ditempati para perwira Jepang. Data dan informasi pariwisata dalam masa pendudukan Jepang dapat dikatakan tidak tersedia.

Setelah Indonesia Merdeka

    Setelah Indonesia merdeka, dunia kepariwisataan Indonesia mulai merangkak lagi. Meskipun pemerintahan Indonesia baru berdiri, namun pemerintah Indonesia waktu itu telah memikirkan untuk mengelola pariwisata. Menjelang akhir tahun 1946, Bupati Kepala Daerah Wonosobo, mempunyai inisiatif untuk mengorganisasikan kegiatan perhotelan di Indonesia dengan menugaskan tiga orang pajabat setempat : W. Soetanto, Djasman Sastro Hoetomo,dan R. Alwan. Melalui mereka inilah lahir Badan Pusat Hotel Negara, yang merupakan organisasi perhotelan pertama di Indonesia.Pada tanggal 1 Juli 1947, pemerintah Indonesia mulai menghidupkan kembali industri-industri di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pariwisata.

    Sektor pariwisata mulai menunjukkan geliatnya. Hal ini ditandai dengan Surat Keputusan Wakil Presiden (Dr. Mohamad Hatta) sebagai Ketua Panitia Pemikir Siasat Ekonomi di Jogjakarta untuk mendirikan suatu badan yang mengelola hotel-hotel yang sebelumnya dikuasai pemerintah pendudukan. Badan yang baru dibentuk itu bernama HONET (Hotel National & Tourism) dan diketuai oleh R Tjipto Ruslan. Badan tersebut segera mengambil alih hotel-hotel yang terdapat di daerah : Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Cirebon, Sukabumi, Malang, Sarangan, Purwokerto, Pekalongan, yang semuanya diberi nama Hotel Merdeka. 

    Terjadinya KMB (Konferensi Meja Bundar) pada tahun 1949 mengakibatkan perkembangan lain, mengingat salah satu isi perjanjian KMB adalah bahwa seluruh harta kekayaan milik Belanda harus dikembalikan kepada pemiliknya. Oleh karena itu, ahirnya HONET dibubarkan dan selanjutnya berdiri badan hukum NV HORNET yang merupakan badan satu-satunya yang menjalankan aktivitas di bidang perhotelan dan pariwisata. 

    Tahun 1952 dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia, dibentuk Panitia Inter Departemental Urusan Turisme yang diketuai oleh Nazir St. Pamuncak dengan sekretaris RAM Sastrodanukusumo. Tugas panitia tersebut antara lain menjajagi kemungkinan terbukanya kembali Indonesia sebagai daerah tujuan wisata. Pada tahun 1953 beberapa tokoh perhotelan ahirnya mendirikan Serikat Gabungan Hotel dan Tourisme Indonesia (SERGAHTI) yang diketuai oleh A Tambayong, pemilik Hotel Orient yang berkedudukan di Bandung. Badan tersebut dibantu pula oleh S. Saelan (pemilik hotel Cipayung di Bogor), dan M Sungkar Alurmei (Direktur hotel Pavilion/Majapahit di Jakarta), yang kemudian mendirikan cabang dan menetapkan komisaris di masing-masing daerah di wilayah Indonesia. Keanggotaan SERGAHTI pada saat itu mencakup seluruh hotel di Indonesia. Disamping SERGAHTI, beberapa pejabat tinggi negara yang posisinya ada kaitannya dengan aspek parwisata Indonesia dan beberapa anggota elite masyarakat yang peduli terhadap potensi pariwisata nasional mendirikan Yayasan Tourisme Indonesia atau YTI pada tahun 1955, yang nantinya akan menjadi DEPARI, Dewan Pariwisata Indonesia yang menjadi cikal bakal Departemen Pariwisata dan Budaya saat ini. 

Kondisi Pariwisata Setelah Pemberlakuan Otonomi Daerah

    Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 memuat baik cita-cita, dasardasar, serta prinsip-prinsip penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah tujuan nasional yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata 8 (b) memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 

    Sektor pariwisata yang sudah mendunia dan menyedot banyak wisatawan mancanegara bahkan lintas negara, juga pada akhirnya mampu menjadi duta bangsa yang mengabarkan pada dunia, eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Menjadi duta kepada dunia dan mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang merdeka, aman, kondusif, maju dan sejahtera. Sektor pariwisata ini dapat memberi gambaran wajah Indonesia kepada dunia internasional.

    Pariwisata di era otonomi daerah adalah wujud dari cita-cita Bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Memajukan kesejahteraan umum dalam arti bahwa pariwisata jika dikelola dengan baik, maka akan memberikan kontribusi secara langsung pada masyarakat di sekitar daerah pariwisata, terutama dari sektor perekonomian. Secara tidak langsung, pariwisata memberikan kontribusi signifikan kepada pendapatan asli daerah (PAD) suatu daerah dan tentu saja pemasukan devisa bagi suatu negara. Akibat langsung yang timbul dari pemberian otonomi daerah adalah adanya “daerah basah” dan “daerah kering”. Hal ini disebabkan potensi dan kondisi masing-masing daerah di Indonesia tidak sama. Daerah yang kaya akan sumber daya alam otomatis menjadi “daerah basah” seiring dengan bertambahnya perolehan pendapatan asli daerahnya dari sektor migas misalnya, sedangkan daerah yang minus sumber daya alam otomatis menjadi daerah kering. Namun demikian tidak berarti daerah yang miskin dengan sumber daya alam tidak dapat meningkatkan pendapatan asli daerahnya, karena jika dicermati ada beberapa potensi daerah yang dapat digali dan dikembangkan dari sektor lain seperti sektor pariwisata.

    Dalam lingkup nasional, sektor pariwisata dianggap sebagai sektor yang potensial di masa yang akan datang. Menurut analisis World Travel and Tourism Council (WTTC) (2016) dan World Bank (2016), industri pariwisata di Indonesia telah menyumbang 10% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada saat ini dan diperkirakan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di atas rata-rata industri. Peringkat ke-4 penyumbang devisa nasional, sebesar 9,3%. Pertumbuhan penerimaan devisa tertinggi, yaitu 13%. Biaya marketing hanya 2% dari proyeksi devisa. Penyumbang 9,8 juta lapangan pekerjaan, atau 8,4%. Lapangan kerja tumbuh 30% dalam 5 tahun. Pencipta lapangan kerja termurah US$ 5.000/satu pekerjaaan.

    Berdasarkan analisis tersebut wajar jika industri pariwisata di Indonesia dinilai sebagai sektor andalan penyumbang devisa negara terbesar dalam bidang nonmigas. Terlebih ketika pemerintah Indonesia mencanangkan program otonomi daerah, maka industri pariwisata merupakan salah satu alternatif yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber penerimaan daerah. Yang perlu mendapat perhatian bahwa pengembangan industri pariwisata daerah terkait dengan berbagai faktor yang mau tidak mau berpengaruh dalam perkembangannya. Oleh karena itu perlu diketahui dan dipahami apa saja faktor- faktor yang secara faktual memegang peranan penting dalam pengembangan industri pariwisata daerah khususnya dalam rangka penerapan otonomi daerah, sehingga pada akhirnya pengembangan industri pariwisata daerah diharapkan mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi peningkatan pendapatan asli daerah dan mendorong program pembangunan daerah. 

    Ada beberapa isu strategis (politik, ekonomi, sosial dan budaya) yang terkait dengan pariwisata di era otonomi daerah yaitu: pertama dalam masa penerapan otonomi daerah di sektor pariwisata adalah timbulnya persaingan antar daerah, persaingan pariwisata yang bukan mengarah pada peningkatan komplementaritas dan pengkayaan alternatif berwisata. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: a) lemahnya pemahaman tentang pariwisata; 2) lemahnya kebijakan pariwisata daerah; 3) tidak adanya pedoman dari pemerintah pusat maupun provinsi. Akibatnya pengembangan pariwisata daerah sejak masa otonomi lebih dilihat secara parsial. Artinya banyak daerah mengembangkan pariwisatanya tanpa melihat, menghubungkan dan bahkan menggabungkan dengan pengembangan daerah tetangganya maupun propinsi/kabupaten / kota terdekat. Bahkan cenderung meningkatkan persaingan antar wilayah, yang pada akhirnya akan berdampak buruk terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Padahal pengembangan pariwisata seharusnya lintas provinsi atau lintas kabupaten/kota, bahkan tidak lagi mengenal batas karena kemajuan teknologi informasi. Isu kedua terkait dengan kondisi pengembangan pariwisata Indonesia yang masih bertumpu pada daerah tujuan wisata utama tertentu saja, walaupun daerah-daerah lain diyakini memiliki keragaman potensi kepariwisataan. 

    Hal yang mengemuka dari pemusatan kegiatan pariwisata ini adalah dengan telah terlampauinya daya dukung pengembangan pariwisata di berbagai lokasi, sementara lokasi lainnya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Selain itu kekhasan dan keunikan atraksi dan aktivitas wisata yang ditawarkan masih belum menjadi suatu daya tarik bagi kedatangan wisatawan mancanegara, karena produk yang ditawarkan tidak dikemas Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata 10 dengan baik dan menarik seperti yang dilakukan oleh negara-negara pesaing. Salah satu kelemahan produk wisata Indonesia, yang menyebabkan Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara tetangga adalah kurangnya diversifikasi produk dan kualitas pelayanan wisata Indonesia. Para pelaku kepariwisataan Indonesia kurang memberikan perhatian yang cukup untuk mengembangkan produk- produk baru yang lebih kompetitif dan sesuai dengan selera pasar. Isu ketiga berhubungan dengan situasi dan kondisi daerah yang berbeda baik dari potensi wisata alam, ekonomi, adat budaya, mata pencaharian, kependudukan dan lain sebagainya yang menuntut pola pengembangan yang berbeda pula, baik dari segi cara atau metode, prioritas, maupun penyiapannya. Proses penentuan pola pengembangan ini membutuhkan peran aktif dari semua pihak, agar sifatnya integratif, komprehensif dan sinergis. Isu keempat dapat dilihat dari banyaknya daerah tujuan wisata yang sangat potensial di Indonesia apabila dilihat dari sisi daya tarik alam dan budaya yang dimilikinya. Namun sayangnya belum bisa dijual atau mampu bersaing dengan daerahdaerah tujuan wisata baik di kawasan regional maupun internasional. Hal tersebut sematamata karena daya tarik yang tersedia belum dikemas secara profesional, rendahnya mutu pelayanan yang diberikan, interpretasi budaya atau alam yang belum memadai, atau karena belum dibangunnya citra (image) yang membuat wisatawan tertarik untuk datang mengunjungi dan lain sebagainya. 

    Memperbanyak variasi produk baru berbasis sumber daya alam, dengan prinsip pelestarian lingkungan dan partisipasi masyarakat, merupakan strategi yang ditempuh untuk meningkatkan pemanfaatan keunikan daerah dan persaingan di tingkat regional dengan daerah lain. Selain kualitas kemasan dan pelayanan, produk pariwisata berbasis alam harus memberikan pengalaman lebih kepada wisatawan. Selanjutnya, pengemasan produk wisata dan pemasarannya, haruslah memanfaatkan teknologi terkini. Produkproduk wisata yang ditawarkan harus sudah berbasis teknologi informasi, sebagai upaya meningkatkan pelayanan dan sekaligus meningkatkan kemampuan pariwisata daerah menembus pasar internasional. 

    Sebagai konsekuensi untuk menjawab tantangan isu dan mencapai tujuan-tujuan besar tersebut, daerah-daerah harus melakukan inovasi, kreasi dan pengembanganpengembangan terhadap potensi-potensi pariwisata masing-masing daerah dengan mencari dan menciptakan peluang-peluang baru terhadap produk-produk pariwisata yang diunggulkan.

    Bagi Indonesia, industri pariwisata merupakan suatu komoditi prospektif yang di pandang mempunyai peranan penting dalam pembangunan nasional, sehingga tidak Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata 11 mengherankan apabila Indonesia menaruh perhatian khusus kepada industri pariwisata. Hal ini lebih diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa Indonesia memiliki potensi alam dan kebudayaan yang cukup besar yang dapat dijadikan modal bagi pengembangan industri pariwisatanya. Salah satu tujuan pengembangan kepariwisataan di Indonesia adalah untuk meningkatkan pendapatan devisa khususnya dan pendapatan negara dan masyarakat pada umumnya, perluasan kesempatan serta lapangan kerja dan mendorong kegiatan-kegiatan industri-industri penunjang dan industri-industri sampingan lainnya. 

    Di Indonesia pengembangan industri pariwisata masuk dalam skala prioritas khususnya bagi daerah-daerah yang miskin akan sumber daya alam. Sesuai dengan pernyataan International Union of Official Travel Organization (IUOTO) dalam konferensi di Roma tahun 1963 bahwa pariwisata adalah penting bukan saja sebagai sumber devisa, tapi juga sebagai faktor yang menentukan lokasi industri dan dalam perkembangan daerah-daerah yang miskin dalam sumber-sumber alam. Ini menunjukkan bahwa pariwisata sebagai industri jasa mempunyai andil besar dalam mendistribusikan pembangunan ke daerah-daerah yang belum berkembang. 

    Dalam orde reformasi ini, merupakan momentum awal yang sangat tepat bagi daerah untuk lebih mandiri dalam menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Kemandirian daerah ini terwujud dalam pemberian kewenangan yang cukup besar meliputi kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama. Penyerahan kewenangan tersebut disertai juga dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Merupakan konsekuensi logis bagi daerah dengan adanya penerapan otonomi daerah maka segala sesuatu yang bersifat operasional dilimpahkan kepada daerah. Sehubungan dengan penerapan otonomi daerah maka segala sesuatu yang menyangkut pengembangan industri pariwisata meliputi pembiayaan, perizinan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi menjadi wewenang daerah untuk menyelenggarakannya. Dengan demikian masing-masing daerah dituntut untuk lebih mandiri dalam mengembangkan obyek dan potensi wisatanya, termasuk pembiayaan promosinya. 

    Sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi berasal dan pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dan dalam wilayah daerah yang bersangkutan terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata 12 daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. 

    Dilihat dari sisi pendapatan asli daerah, maka ada beberapa daerah di Indonesia yang miskin akan sumber daya alam sehingga tidak dapat mengandalkan pendapatan asli daerahnya dari hasil sumber daya alam. Oleh karenanya pengembangan industri pariwisata suatu daerah menjadi alasan utama sebagai salah satu upaya meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pemanfaatan potensi-potensi daerah setempat. 

    Pada tahun 1997, industri pariwisata Indonesia diperkirakan menghasilkan pajak tidak langsung sejumlah 8,7% dari keseluruhan nilai pajak tidak langsung dan pada tahun 2007 meningkat sebesar 9,6% dari total keseluruhan. Data tersebut menunjukkan bahwa industri pariwisata Indonesia memberikan kontribusi yang cukup besar di bidang perpajakan. Sektor pajak mempunyai peranan penting dalam budget negara. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang dipergunakan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran rutin negara, juga dipergunakan untuk membiayai pembangunan nasional. Oleh karenanya, kontribusi pajak bagi pembangunan diharapkan tidak saja mendorong pembangunan satu wilayah saja, akan tetapi juga dapat mendorong pembangunan secara merata sampai di daerah-daerah terpencil di Indonesia. 

    Dalam ruang lingkup daerah, kontribusi industri pariwisata di bidang perpajakan diharapkan semakin meningkat dengan jalan melakukan pengembangan dan pendayagunaan potensi-potensi pariwisata daerah. Hanya saja pungutan pajak tersebut harus dilakukan secara bijaksana, artinya pungutan pajak harus tetap berpegang pada prinsip keadilan, kepastian hukum dan kesederhanaan. Dalam menuju kemandirian daerah, potensi industri pariwisata daerah yang dikelola dan dikembangkan dengan baik akan meningkatkan penerimaan di bidang perpajakan. Dalam hal ini kontribusi pajak dan industri pariwisata daerah selain sebagai sumber pendapatan asli daerah, juga dimaksudkan untuk membiayai pembangunan daerah. 

    Pada dasarnya pengembangan industri pariwisata suatu daerah berkaitan erat dengan pembangunan perekonomian daerah tersebut. Dampak positif yang secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakat daerah setempat adalah adanya perluasan lapangan kerja secara regional. Ini merupakan akibat dari industri pariwisata yang berkembang dengan baik. Misalnya dengan dibangunnya sarana prasarana di daerah tersebut maka tenaga kerja akan banyak tersedot dalam proyek-proyek seperti pembangkit tenaga listrik, jembatan, perhotelan dan lain sebagainya. 

    Untuk mengembangkan industri pariwisata suatu daerah diperlukan strategi-strategi tertentu maupun kebijakan-kebijakan baru di bidang kepariwisataan. Sebuah gagasan menarik dari Sri Sultan HB X yang menyodorkan konsep kebijakan pariwisata borderless, yaitu suatu konsep pengembangan pariwisata yang tidak hanya terpaku pada satu obyek untuk satu wilayah, sedangkan pola distribusinya harus makin dikembangkan dengan tidak melihat batas geografis wilayah. 

    Gagasan tersebut memberi angin segar bagi dunia kepariwisataan di Indonesia terlebih dengan diterapkannya sistem otonomi daerah. Paling tidak kebijakan baru tersebut menjadi salah satu alternatif yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan dan mendayagunakan potensi-potensi wisata daerah melalui program kerjasama antar daerah. Namur demikian yang perlu mendapat perhatian di sini bahwa penerapan program kerjasama tersebut jangan sampai menimbulkan konflik yang justru berdampak merugikan, sehingga tujuan dan pengembangan pariwisata daerah menjadi tidak tercapai.

Sumber:

Suwena, I. K. and Widyatmaja, I. G. N. (2017) Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan.

Comments